Ada sesuatu yang berbeda dengan Februari. Bukan cuma karena dia bulan kedua atau karena jumlah harinya lebih sedikit. Tapi karena dia datang dengan energi yang intens. Januari memberikan adaptasi, Februari memberikan realitas. Tanpa intro panjang, tanpa basa-basi, hidup langsung menuntut banyak.
Kantor sudah mulai berlari kencang. Deadline, target, meeting, revisi, evaluasi kinerja semua datang serentak seolah sudah menunggu pintu Januari dibuka. Orang kantoran tiba-tiba kehilangan ritme tidur, kehilangan waktu santai, kehilangan keheningan. Sambil mengetik laporan, pikiran pasti sempat melayang: “Tahun baru kok rasanya sama saja. Kok hidup rasanya dikejar terus.”
Belum selesai dengan huru-hara pekerjaan, rumah penuh dengan drama sekolah. Mulai dari jadwal ujian, tugas menumpuk, kegiatan ekstrakurikuler, sampai orang tua yang diam-diam ikut stres saat anak belajar. Rumah terasa penuh suara tapi jarang ada yang benar-benar mendengarkan. Semua orang sibuk dengan “hal penting” masing-masing.
Dan di tengah semua kesibukan itu, Februari menyelipkan sesuatu yang tidak disangka: keheningan batin. Hening yang muncul di saat tidak terduga saat terjebak macet, saat lelah menatap file kerja yang tidak selesai-selesai, saat selesai menidurkan anak, atau bahkan saat menunggu kereta sambil melamun.
Keheningan itu pelan tapi tajam. Ia mengajukan pertanyaan yang tidak bisa diabaikan:
Apakah aku benar-benar bahagia, atau cuma sibuk?
Pertanyaan itu tidak datang sekali. Ia datang berulang-ulang. Sampai akhirnya seseorang mulai duduk diam dan bertanya, entah kepada diri sendiri, entah kepada langit:
Kalau begini terus, apa aku akan merasa cukup?
Di titik itulah ide “liburan” muncul. Bukan untuk pamer, bukan buat foto bagus, tapi sebagai usaha menyelamatkan diri dari burnout. Staycation kepikiran. Pantai jadi opsi. Ke luar negeri juga menggoda. Namun semakin dipikir, semakin sadar bahwa tubuh mungkin butuh liburan, tapi hati butuh sesuatu yang jauh lebih dalam: kedamaian.
Dan entah dari mana asalnya, gambar Ka’bah atau kota Madinah sering lewat di timeline. Video orang thawaf dengan lantunan doa tiba-tiba muncul. Atau ada rekan kerja yang baru kembali dari Tanah Suci dan matanya masih berkaca-kaca saat menceritakan pengalaman ibadah.
Perasaan yang muncul aneh seperti rindu terhadap tempat yang belum pernah didatangi. Seperti kerinduan yang tidak logis, tapi sangat nyata. Seperti hati memanggil tanpa suara.
Ada yang langsung menepis dengan logika:
“Aku belum pantas.”
“Nanti dulu kalau uang cukup.”
“Kerjaan lagi padat banget.”
“Anak sekolah, belum bisa ditinggal.”
Tapi panggilan Allah سبحانه وتعالى tidak pernah kalah oleh logika. Justru semakin ditahan, semakin terasa.
Sampai akhirnya seseorang mulai bertanya pada diri sendiri:
Kalau hidup ini melelahkan, kenapa aku tidak pulang dulu kepada Allah سبحانه وتعالى untuk isi ulang?
Pelan-pelan orang mulai mencari informasi. Bukan yang berlebihan, bukan yang gegabah — hanya memastikan apakah memungkinkan. Lalu tanpa direncanakan, orang menemukan banyak cerita bahwa ibadah di bulan Februari itu sangat nyaman. Cuacanya sejuk, suasana tidak terlalu padat, ibadah terasa lebih tenang.
Bukan “kebetulan”. Kadang Allah سبحانه وتعالى membentangkan kemudahan justru ketika hamba-Nya sedang lelah.
Dari situlah perjalanan banyak orang bermula. Ada yang menghubungi travel dengan suara gemetar. Ada yang bayar DP dengan tangan dingin, bukan karena takut tapi karena haru. Ada yang minta izin ke kantor dan baru sadar bahwa ternyata izin bukan masalah besar selama niatnya baik. Ada yang memberi tahu keluarga dengan mata berbinar.
Mereka melangkah bukan karena hidup mereka sempurna, tapi justru karena hidup sedang berat. Mereka datang bukan karena mereka orang terbaik, tapi karena mereka ingin menjadi lebih baik.
Tidak ada yang lebih jujur daripada doa seseorang yang datang dari rasa lelah.
Dan saat keberangkatan tiba, semuanya berubah. Yang biasanya sibuk dengan layar laptop kini tertegun melihat Ka’bah untuk pertama kalinya. Yang biasanya tahan menangis tiba-tiba kehilangan kekuatan untuk menahan air mata. Yang biasanya menjaga image di depan orang lain kini menangis sesunguhnya bukan karena sedih, tapi karena akhirnya pulang.
Mereka berdiri di tempat jutaan orang memohon, dan sadar satu hal:
Tuhan tidak pernah jauh, hanya manusia yang menjauh.
Banyak orang mengakui perjalanan itu menjadi titik balik kehidupan cara Allah سبحانه وتعالى mengembalikan senyum, ketenangan, semangat, dan cinta ke dalam keluarga.
Ada yang pulang dengan hati yang lebih lembut.
Ada yang pulang dengan semangat bekerja yang lebih sehat.
Ada yang pulang dengan hubungan keluarga yang lebih harmonis.
Ada yang pulang dengan tekad memperbaiki hidup.
Dan ada yang pulang dengan satu penyesalan:
Kenapa aku tidak pergi lebih cepat?
Jika kamu merasakan Februari ini terasa berat atau terlalu cepat… mungkin bukan karena hidup salah arah. Mungkin karena Allah سبحانه وتعالى sedang mengetuk, mengingatkan bahwa kita butuh jeda, bukan dari kehidupan… tapi kembali kepada-Nya.
Jika kamu sedang mempertimbangkan waktu terbaik untuk ibadah dan membutuhkan referensi waktu keberangkatan yang nyaman, banyak jamaah menyarankan umroh februari 2026 karena suasana yang tenang, cuaca ideal, dan momen ibadah lebih fokus tanpa keramaian padat.
Mungkin Februari ini akan tetap penuh deadline, tugas, kegiatan sekolah, atau pekerjaan. Hidup mungkin tetap berjalan cepat, tidak memberi banyak waktu bernapas. Tapi satu hal yang tidak boleh dilupakan adalah: manusia tidak diciptakan hanya untuk mengejar dunia. Kita juga diciptakan untuk pulang kepada Pencipta.
Jika hatimu mulai bergetar saat membayangkan berada di tanah suci, jangan remehkan itu.
Jika matamu menghangat saat memikirkan Ka’bah, itu bukan emosi biasa.
Jika kamu tiba-tiba ingin menepi ke tempat yang mendekatkan diri kepada Allah سبحانه وتعالى, itu bukan random.
Mungkin ini bukan sekadar tulisan.
Mungkin ini adalah panggilan untukmu.
Karena tidak semua orang mendapat kesempatan rindu kepada Tanah Suci.
Dan hanya orang terpilih yang diberi keberanian untuk menjawabnya.


