Fajar baru merekah di ufuk Madinah. Langit lembut berwarna keperakan, udara sejuk menyelimuti kota yang penuh berkah. Dari balik jendela hotel, Pak Amir menatap ke arah Masjid Nabawi dengan mata yang basah oleh haru.
Bu Rani berdiri di sampingnya, diam, menatap kubah hijau yang meneduhkan. “MasyaAllah,” bisiknya. “Kita benar-benar sampai di kota Rasulullah ﷺ.”
Perjalanan panjang Umroh Plus Dubai yang mereka mulai dari gemerlap gurun kini berakhir di tempat paling damai di muka bumi. Setelah mengelilingi Ka’bah dengan air mata syukur, kini mereka menapaki halaman Madinah dengan hati yang lebih ringan—penuh cinta, penuh tenang.
Kota ini berbeda. Tidak ada hiruk pikuk. Tidak ada kebisingan. Hanya ketenangan yang terasa meresap hingga ke jiwa. Setiap langkah menuju Masjid Nabawi terasa seperti berjalan di atas karpet keikhlasan. “Di sini, Mir,” ucap Bu Rani pelan, “aku seperti bisa mendengar kedamaian.”
Pak Amir tersenyum lembut. “Ya, Ran… di kota ini, setiap hembusan angin seperti mengandung doa.”
Hari pertama di Madinah mereka habiskan dengan berziarah. Suara takbir dan lantunan shalawat mengiringi langkah para jamaah. Saat memasuki masjid, tubuh mereka bergetar. Pintu-pintu besar Masjid Nabawi menjulang indah, dan di dalamnya, suasana terasa seperti dunia lain—tenang, teduh, dan suci.
Mereka berjalan perlahan ke arah Raudhah, taman surga yang disebut Rasulullah ﷺ sebagai tempat mustajab untuk berdoa.
Begitu tiba di sana, Bu Rani tak kuasa menahan air mata. Ia sujud lama sekali. Di dalam sujud itu, ia berbisik lirih, “Ya Allah, terima kasih Kau izinkan aku sampai di tempat yang begitu mulia ini. Terima kasih Kau kirimkan aku bersama suami yang setia mengajakku menuju-Mu.”
Pak Amir menatapnya, lalu menunduk. Dalam hati, ia pun berdoa, “Ya Rabb, jika cinta ini Engkau berkahi, biarlah kami bertemu lagi di surga bersama Nabi-Mu ﷺ.”
Setelah shalat, mereka duduk berdua di salah satu sudut masjid. Cahaya matahari lembut menyinari wajah mereka, menciptakan suasana yang nyaris sinematik. Di sekitar mereka, jamaah dari berbagai negara berzikir, membaca Al-Qur’an, atau hanya duduk dalam diam.
“Ran,” kata Pak Amir pelan, “kamu tahu? Aku baru sadar. Perjalanan kita dari Dubai, ke Makkah, hingga ke sini… semuanya seperti potongan kisah hidup kita.”
Bu Rani menatapnya penasaran. “Kisah hidup kita?”
“Iya. Dubai itu seperti masa muda kita—penuh semangat, penuh ambisi. Makkah seperti masa kita mencari ampunan. Dan Madinah…” ia menarik napas panjang, “Madinah ini seperti masa kita menunggu perjumpaan.”
Bu Rani terdiam lama. Kalimat itu menembus relung hatinya. Ia tahu, usia mereka memang tak lagi muda. Tapi di tempat ini, cinta mereka terasa abadi. Tak lagi soal dunia, tapi tentang bagaimana mereka bersama dalam doa dan ibadah.
Di hari kedua, mereka ikut tur ziarah kota. Rombongan jamaah menuju Masjid Quba, masjid pertama yang dibangun oleh Rasulullah ﷺ. Udara pagi terasa sejuk, dan ketika mereka shalat dua rakaat di sana, suasana hening. Bu Rani menatap suaminya yang sedang berdoa dengan khusyuk. “Betapa beruntung aku,” pikirnya, “punya suami yang selalu menuntunku menuju jalan yang benar.”
Setelah itu, mereka melanjutkan perjalanan ke Jabal Uhud. Di kaki bukit, Pak Amir berhenti lama. Ia menatap batu-batu besar dan tanah merah yang menjadi saksi perjuangan para syuhada. “Di sinilah para pejuang mempertaruhkan nyawa untuk agama ini,” katanya.
Bu Rani mengangguk, suaranya bergetar. “Kita pun sedang berjuang, Mir. Bukan di medan perang, tapi melawan waktu… agar bisa pulang dengan iman yang utuh.”
Angin Madinah berhembus lembut. Burung-burung terbang di langit biru, seolah ikut mengamini doa mereka. Di momen itu, keduanya merasa: inilah makna sejati dari perjalanan Umroh Plus Dubai Januari 2026 — bukan tentang tempat yang dikunjungi, tapi tentang hati yang berubah.
Malam terakhir di Madinah tiba. Di kamar hotel yang sederhana, Bu Rani menatap tas yang sudah rapi. “Aku nggak mau pulang, Mir,” katanya dengan suara lirih.
Pak Amir tertawa kecil. “Aku juga. Tapi setiap perpisahan di dunia hanya sementara, Ran. Yang penting, kita sudah tahu arah pulang yang sebenarnya.”
Ia kemudian membuka mushaf kecil dan membaca surah Al-Baqarah ayat 156,
‘Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un…’
Air mata mereka kembali mengalir—bukan karena sedih, tapi karena damai.
Keesokan paginya, sebelum berangkat ke bandara, mereka berjalan pelan menuju halaman Masjid Nabawi untuk terakhir kalinya. Matahari pagi menyinari kubah hijau yang berkilau.
Pak Amir menggenggam tangan istrinya erat-erat. “Ran, kamu tahu apa yang paling indah dari perjalanan ini?”
“Apa, Mir?”
“Kita datang berdua bukan cuma untuk melihat dunia, tapi untuk menemukan surga.”
Mereka berdua tersenyum. Kamera hati merekam momen itu dengan sempurna—dua insan yang telah menua, tapi cintanya tumbuh semakin dalam karena disirami iman.
Dan ketika mereka melangkah meninggalkan Masjid Nabawi, azan Zuhur berkumandang lembut, mengantarkan kepergian dengan doa.
Perjalanan Umroh Plus Dubai ini akhirnya selesai, tapi kisah mereka tidak. Karena cinta yang dilandasi iman tidak berakhir di bandara, tapi terus hidup dalam doa, dalam sujud, dan dalam harapan untuk kembali ke tempat yang sama—di sisi Nabi ﷺ, di surga yang dijanjikan Allah سبحانه وتعالى.